Birokrasi dapat diartikan sebagai bagian pelaksana pemerintahan. Tetapi juga birokrasi berarti tatanan yang memiliki sifat delegasi wewenang, pembangian kerja, mekanisme administrasi dan termasuk juga pelaksanaan tugas dan pengawasannya.
Secara kelembagaan, birokrasi diartikan sebagai salah satu level
pemerintahan yang memiliki otoritas untuk mengatur dan melaksanakan tugas tugas
pemerintahan. Ciri dari birokrasi adalah adanya kelompok penguasa dan metode
pemerintahan.
Birokrasi menurut Max Webber dijelaskan oleh S. Ramachander (1998) ialah persoalan mengenai apakah yang membuat
orang-orang mematuhi perintah dan mau melakukan apa yang diperintahkan
kepadanya. Persoalan ini menjadi penting ketika kita berhadapan dengan
persoalan perubahan sosial secara kolektif. Dalam konteks ini, Weber membedakan
antara kekuasaan (power) yang berarti kemampuan untuk menggerakkan
orang-orang dengan kekuatan dan kewenangan (authority) yang berarti
perintah-perintah yang ditaati oleh orang-orang dengan kesediaannya sendiri.
Tiga tipe otoritas Birokrasi
Ada tiga tipe otoritas. Yang pertama ialah
‘otoritas karismatik’, “yaitu suatu kepatuhan yang dibenarkan karena orang yang
memberikan tatanan memiliki beberapa kesucian atau semua karakteristik yang
dikenal.” Di sini, pemimpin
menggerakkan yang dipimpin atas dasar kharisma atau wibawa yang dimilikinya,
dan wibawa atau kharisma ini merupakan sebuah kualitas diri yang batiniah yang
tak bisa diberikan atau dibagikan kepada pihak yang lain. Kharisma atau wibawa
merupakan sebuah kualitas diri yang tak kasat mata, namun auranya terasakan
oleh mereka yang dipimpin dan aura kharisma atau wibawa inilah yang sanggup
menggerakkan mereka yang dipimpin. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tipe otoritas
yang demikian barangkali terepresentasikan dalam kepemimpinan sebagian tokoh
agama.
Tipe otoritas yang kedua ialah ‘otoritas
tradisional’. Dalam otoritas yang sedemikian ini, ‘semua perintah mungkin
dipatuhi karena adanya rasa hormat terhadap pola-pola tatanan lama yang telah
mapan.’ Tipe otoritas ini barangkali tak sulit untuk kita temukan
dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bisa lihat tipe otoritas ini semisal
dalam bagaimana masih kuatnya tradisi pernikahan yang mengikuti adat
tradisional.
Tipe otoritas yang ketiga ialah ‘otoritas legal’
dimana ‘manusia mungkin percaya bahwa seseorang yang memberikan tatanan adalah
berbuat sesuai dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang di dalam suatu kitab
undang-undang dan peraturan.” Kategori ketiga ini berciri
rasional, dan merupakan tipe otoritas yang menandai organisasi modern, yang
berkaitan dengan membesarnya staf administrasi birokratis.
Sekarang, kita akan berusaha memahami makna
penting dari birokrasi meski ada banyak keluhan terhadapnya dengan mengkaitkan
masing-masing tipe otoritas tersebut dengan konteks masanya.
1. Tipe otoritas karismatik
Dalam
tipe ini, orang-orang bersedia untuk menaati atau mematuhi sebuah kepemimpinan
tertentu atas dasar keyakinan mereka akan kharisma atau wibawa yang dimiliki
oleh sang pemimpin. Karena kharisma atau wibawa itu diyakini bersumber dari
kekuatan yang sakral, maka tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya.
Jadi, seorang yang memilikinya akan dianggap sebagai pertanda bahwa dia telah
memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka. Kepemimpinan di sini
dibangun di atas landasan keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin
yang tak boleh dipertanyakan.
Termasuk
yang diyakini dalam kesakralan itu ialah kemampuan sang pemimpin untuk
mengetahui segala-galanya atas perkehidupan dari mereka yang dipimpin, dan
karena maha tahu, maka sang pemimpin bagi orang-orang yang dipimpinnya
merupakan pembimbing mereka menuju ke surga bersama. Jadi, menjadi tugas sang
pemimpin untuk memberikan kompas panduan ke arah mana masyarakat itu akan
melangkah dan bergerak sekaligus bagaimana cara menuju ke sana. Tugas dari
orang-orang yang dipimpin ialah tinggal menunggu titah dari sang pemimpin.
“Sabda sang raja adalah sabda Tuhan,” menjadi kesadaran kolektif masyarakat
tersebut.
Konsekuensi
dari tipe otoritas yang demikian ialah bahwa mereka yang dipimpin akan mudah
sekali kehilangan arah tujuan hidupnya manakala sang pemimpin tak lagi berada
di antara mereka. Kematian sang pemimpin identik dengan matinya kompas pemandu
tujuan hidup mereka. Masyarakat akan kehilangan pegangan hidup sehingga
biasanya kemudian terjadi disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat
tersebut karena tak ada sosok yang bisa menyatukan kemauan dan gerak langkah
masyarakat tersebut. Di sisi lain, ketergantungan terhadap sosok sang pemimpin
juga menjadikan kemampuan-kemampuan menentukan arah tujuan hidupnya tak
berkembang dalam diri yang dipimpin. Mereka yang dipimpin tak terlatih untuk
mengembangkan kemampuan memilih tujuan hidupnya sendiri maupun cara bagaimana
mencapai tujuan tersebut.
Maka,
tipe otoritas yang demikian berfungsi ideal pada situasi-situasi dimana
kehidupan yang melingkupi sebuah masyarakat masih begitu sederhana dan
problem-problem yang muncul bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sederhana.
Dengan kesederhanaan situasi dan problem itu, maka sosok pemimpin akan bisa
menjalankan fungsinya sebagai yang maha tahu. Sang pemimpin-lah yang bertugas
memberikan jawaban atas banyak persoalan yang dialami oleh mereka yang
dipimpin.
Tipe
ini akan menjadi problematik manakala kehidupan telah menjadi sedemikian
kompleks, ruang kehidupan semakin saling terkait secara luas dan dinamika
kehidupan semakin cepat. Jika semua problem lantas harus menunggu jawaban dari
sang pemimpin, maka akan ada banyak energi dan waktu yang terbuang percuma
hanya untuk menunggu. Organisasi pemerintahan yang ada pun lantas menjadi
lamban dan tak responsif terhadap tantangan-tantangan yang terus muncul. Secara
keseluruhan, bangunan sosial politik yang didasarkan pada tipe otoritas semacam
ini akan menjadi rapuh justru karena ketergantungannya kepada satu figur
karismatik.
2. Tipe otoritas tradisional
Dalam
tipe otoritas yang kedua ini, ketaatan dan kepatuhan orang-orang didasarkan
pada adat kebiasaan yang telah dijalankan secara generasi bergenerasi.
Kesetiaan pada adat kebiasaan menjadi nilai yang diutamakan. Di sini, sang
pemimpin mendapatkan legitimasinya sebagai seorang pemimpin karena perannya
sebagai penjaga dan penerus tradisi.
Jika
dalam tipe pertama, sang pemimpin masih berkewajiban untuk mengembangkan
kualitas dirinya karena keharusan untuk maha bisa memberikan arah dan jawaban
bagi persoalan-persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin, dalam tipe
kedua ini sang pemimpin tak harus menjadi maha tahu karena telah ada adat
tradisi yang menjadi landasan bagi arah gerak aktivitas yang harus dijalankan.
Tatanan lama yang telah mapan menjadi dasar patokan penilaian bagi tepat atau
tidak tepatnya sebuah tindakan. Sebagai konsekuensinya, tak mudah untuk melakukan
sebuah perubahan sosial dalam tatanan yang sedemikian karena kesetiaan pada
tradisi menjadi keutamaan. Setiap usaha untuk melakukan perubahan pada adat
kebiasaan maupun struktur yang telah ada, akan selalu berhadapan dengan
resistensi yang kuat. Baik sang pemimpin maupun aparatur yang menjalankan roda
pemerintahannya akan menjalankan peran-perannya atas dasar adat kebiasaan yang
telah berlangsung selama generasi bergenerasi. Tentu saja, hal ini menjadikan
baik sang pemimpin maupun aparaturnya rendah motivasinya untuk mengembangkan
kualitas-kualitas terbaik dalam dirinya karena toh adat kebiasaan pada akhirnya
yang menentukan. Apa gunanya mengembangkan kecerdasan dan kreativitas jika pada
akhirnya yang dihargai ialah senioritas dan kepatuhan pada tradisi? Apa gunanya
berinovasi jika pada akhirnya yang dihargai ialah apa yang selaras dengan adat
tradisi? Insentif bagi munculnya inovasi-inovasi dalam menjalankan
kewenangannya lemah.
Seperti halnya tipe otoritas yang
pertama, tipe otoritas yang kedua ini juga hanya akan berfungsi dengan baik
dalam situasi-situasi dimana cara-cara tradisional bisa menjawab
problem-problem yang muncul. Dengan kata lain, ini berarti bahwa
problem-problem yang muncul haruslah juga merupakan problem-problem yang
memiliki karakteristik yang sama atau serupa dengan problem-problem yang dulu
pernah berhasil dengan cara-cara tradisional. Persoalannya ialah apakah kita
masih berada dalam sebuah dunia dimana problem-problem yang muncul tak lain
dari pengulangan problem-problem yang pernah ada.
Jika
kita menyaksikan betapa begitu cepatnya semua berubah, kita akan paham betapa
kita tengah hidup dalam dunia dimana inovasi demi inovasi terus-menerus
membayangi kehidupan kita setiap hari. Selalu ada barang baru, model baru,
jenis baru yang ditawarkan ke hadapan kita, dan ini berarti bahwa ada cara-cara
baru dan pengalaman-pengalaman baru yang ditawarkan kepada kita. Ini berarti
juga problem-problem baru. Apakah cara-cara dan kebiasaan lama bisa menghadapi
semua itu? Dalam kasus birokrasi, cara-cara dan kebiasaan lama malah menjadikan
kita tertinggal. Kerja birokrasi yang didasarkan cara-cara dan adat kebiasaan
yang lama seringkali malah lebih suka mempermasalahkan bagaimana melestarikan
cara dan kebiasaan lama ketimbang pada bagaimana menghadapi problem-problem
baru. Sebagai akibatnya, setiap kali berhadapan dengan problem-problem yang
memiliki karakteristik yang berbeda dari yang dulu pernah dihadapi dengan
cara-cara lama, birokrasi mengalami kegagapan. Secara luas, perilaku ini malah
akan menghancurkan daya cipta masyarakat. Lemah motivasi dan miskin inovasi
menjadi potret umum dari birokrasi maupun masyarakat yang masih mendasarkan
diri pada tipe otoritas kedua ini.
3. Tipe otoritas legal
Pada
tipe otoritas yang ketiga ini, kepatuhan dan kesediaan orang-orang lebih
didasarkan pada aturan-aturan yang disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip dan
cara-cara rasional. Di sini, bukan karisma pemimpin atau adat kebiasaan yang
menjadi dasar ketaatan, namun hukum-hukum yang dibentuk secara tertulis dan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Yang mungkin menarik untuk
dipertanyakan ialah: “Mengapa orang-orang bersedia untuk patuh pada
aturan-aturan dan hukum-hukum yang tertulis yang mungkin sama sekali tak pernah
dia ketahui bagaimana dan darimana bisa terbentuk?”
Kepatuhan
ini sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan rasionalitas masyarakat itu
sendiri. Ketika pemimpin yang ada maupun struktur dan kultur tradisi yang ada
dianggap tak lagi memadai untuk bisa mewadahi dan mewujudkan aspirasi-aspirasi
masyarakat, maka pada saat itulah muncul pertanyaan: “Jika kharisma pemimpin
atau tradisi yang ada tak lagi bisa diandalkan sebagai jawaban untuk mencapai
tujuan hidup bersama, namun malah digunakan sebagai dalih untuk melanggengkan
ketidakadilan dan diskriminasi sosial politik yang ada, maka apalagi yang bisa
dijadikan sebagai dasar landasan bagi suatu otoritas?”
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan berbagai penemuan yang luar
biasa dan berhasil memecahkan berbagai kebutuhan manusia telah memperkuat
keyakinan manusia Barat akan kemampuan rasio atau akal budi manusia untuk
membantu manusia mencapai tujuan kehidupan bersamanya. Dengan rasio, manusia
bisa membaca realitas empiris, mendeskripsikan pola yang ada di balik
pengalaman empirisnya, dan untuk kemudian menemukan cara untuk memodifikasi
realitas empiris tersebut. Termasuk realitas empiris yang bisa dimodifikasi itu
ialah realitas sosio-politik dan ekonomi. Realitas empiris sosio-politik maupun
ekonomi bukanlah suatu tatanan yang tinggal diterima begitu saja tanpa ada
kemampuan manusia untuk mengintervensi ataupun memodifikasinya. Kesadaran akan
kemampuan rasionalitas manusia menumbuhkan kesadaran historis bahwa manusia
bisa mengintervensi dan memodifikasi realitas sesuai dengan citanya. Kesadaran
fatalisme yang menopang peradaban feodalisme pun runtuh secara perlahan namun
pasti. Kepercayaan terhadap kharisma maupun terhadap tatanan dan adat kebiasaan
yang lama, yang tumbuh dari alam kesadaran yang fatalis, surut secara pasti.
Usaha membangun kehidupan bersama tak lagi bisa diserahkan kepada kharisma atau
cara-cara lama. Usaha itu harus didasarkan pada pembacaan dan analisis empiris
atas keseluruhan situasi yang ada, dan kemudian merumuskan, merencanakan serta
menjalankan cara-cara yang dinilai paling efektif untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, yang untuk kemudian dievaluasi apakah cara tersebut telah
menghasilkan realitas empiris yang diinginkan. Siklusnya lalu kembali ke
pembacaan realitas empiris yang baru dimodifikasi tersebut.
Agar
usaha membangun tujuan bersama itu berhasil, maka dibutuhkan kerjasama kolektif
dari seluruh anggota kehidupan bersama. Harus ada gerak langkah yang serempak
dan harmonis satu sama lain. Kalau sebelumnya, penyelarasan gerak langkah dari
seluruh elemen masyarakat itu dilakukan oleh seorang pemimpin atau oleh penjaga
adat kebiasaan yang lama, maka dalam dunia yang rasional, penyelarasan itu
dilakukan oleh aturan-aturan yang ditetapkan secara eksplisit dalam artian
tertulis dan disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Dengan kata lain, hukum-lah
yang menjadi alat penyelaras dari seluruh gerak langkah guna mencapai tujuan
bersama. Ini berarti bahwa masyarakat pun harus dididik untuk menjadi
masyarakat yang rasional agar bisa menginternalisasi hukum tersebut dan
membentuk perilaku dan karakternya sesuai dengan hukum tersebut sehingga
keselarasan antar gerak langkah seluruh elemen masyarakat tercapai dan tujuan
bersama pun tercipta. Inilah yang dimaksud dengan otoritas yang didasarkan atas
aturan-aturan hukum atau otoritas legal.
Salah satu instrumen penting untuk menjalankan
dan menegakkan aturan-aturan hukum demi penyelarasan gerak langkah seluruh
elemen masyarakat itu ialah birokrasi. Birokrasi, seperti yang telah kita
definisikan pada bab pertama, merupakan tipe organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara
sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang, Sebagai sebuah instrumen atau
alat, maka birokrasi tak lebih dari aparatur pelaksana dari kebiajkan-kebijakan
yang diputuskan dan ditetapkan oleh badan-badan di luar dirinya. Seperti kata John Kilcullen,
But formally and in theory the bureaucracy is merely a
means, and this is largely true also in practice: someone must provide policy
direction and back the bureaucrat up (if necessary) with force. 'At the top of
a bureaucratic organization, there is necessarily an element which is at least
not purely bureaucratic', SEO, p. 335, to give policy direction.
(Namun secara formal dan secara teori, birokrasi hanyalah alat, dan
hal ini juga sangat berlaku dalam kenyataan: ada pihak lain yang berkewajiban
menyediakan arahan kebijakan dan mendukung birokrat (jika perlu) dengan
kekuasaan. ‘Di puncak organisasi birokratik, selalu ada sebuah elemen yang
setidaknya tidak sepenuhnya bersifat birokratik’, yang memberikan arahan
kebijakan.)
Max Weber sendiri menganggap birokrasi secara teknis
merupakan organisasi yang paling efisien bagi kehidupan bersama manusia.
Mengapa? Karena birokrasi bekerja atas dasar sistem aturan secara impersonal
dimana birokrasi sendiri tidak turut terlibat dalam penyusunan sistem aturan
tersebut, sehingga analogi yang tepat untuk birokrasi ialah seperti halnya
mesin dalam dunia produksi, sementara organisasi-organisasi lain analog dengan
alat-alat produksi selain mesin. Analog dengan mesin, keunggulan birokrasi
ialah dalam hal kemampuannya untuk menghasilkan sekian banyak jasa layanan
secara lebih cepat dan efisien ketimbang dengan menggunakan tipe-tipe pengorganisasian
yang lain. Di sini, birokrasi menjadi bernilai penting karena kemampuannya
untuk mengorganisir sekian banyak pekerjaan orang sehingga bisa dihasilkan
semakin banyak jasa layanan politik secara lebih cepat dan efisien.
Namun, selain karena kemampuannya,
ada alasan lain dari keberadaan birokrasi yang menarik menurut pandangan Max
Weber. “Di Jaman Kuno, kebebasan kota-kota dihapuskan oleh suatu kekaisaran
dunia yang diorganisir secara birokratis yang tidak lagi memberi tempat bagi
kapitalisme politik. Pada permulaannya, para kaisar terpaksa bersandar pada
kekuatan-kekuatan keuangan para kapitalis, tetapi lambat laun mereka
membebaskan diri dari ketergantungan itu dan melarang kelas ini memborong pajak
yang merupakan sumber keuangan yang paling subur – seperti juga para raja Mesir
dapat menyediakan sendiri keperluan-keperluan politik dan militer dalam
kerajaan mereka tanpa tergantung pada kelas kapitalis, dan menurunkan
pemborong-pemborong pajak ke posisi pejabat-pejabat pajak. Meski yang ditulis oleh Max Weber itu adalah sebuah analisis historis atas
mengapa kapitalisme tak berkembang pesat di Jaman kuno, namun apa yang menarik
untuk disimak dari kutipan tersebut ialah bahwa birokrasi menjadi antitesis
dari kapitalisme. Dalam artian bagaimana birokrasi menjadi antitesis dari
kapitalisme?
Max Weber menulis: “Kita juga akan
menikmati keuntungan-keuntungan ‘tatanan’ birokrasi bukannya ‘anarki’
perekonomian bebas..” Kapitalisme rasional, sebaliknya, diorganisir dengan tujuan mendapat
kesempatan-kesempatan pasar, yaitu dengan pandangan tujuan-tujuan ekonomik
dalam pengertian sesungguhnya, dan makin rasional makin dekat hubungannya
dengan permintaan massa dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan massa.
Adalah perkembangan Barat
yang mengangkat kapitalisme ini ke dalam suatu sistem...” Dalam paham perekonomian bebas, setiap
pasar dianggap sebagai potensi keuntungan, dan bukankah sangat berbahaya jika
kemudian jasa-jasa layanan publik yang vital bagi hajat hidup orang banyak,
seperti kesehatan, pendidikan, listrik dan sebagainya diserahkan sepenuhnya
kebijakannya kepada logika pasar bebas? Logika pasar bebas ialah akumulasi laba
dan perebutan pasar. Sebagai konsekuensi dari logika ini, dunia ekonomi
fluktuasi harga dan suplai barang dan jasa menjadi bergantung pada kemauan
sewenang-wenang dari pihak pelaku pasar bebas, dan inilah yang disebut sebagai
anarki perekonomian bebas oleh Max Weber. Seberapa besar beban harga-harga
barang dan jasa seluruh anggota masyarakat bergantung pada belas kasih para
pelaku perekonomian bebas.
Nah,
keberadaan birokrasi persis kontras dengan logika pasar bebas yang mengutamakan
akumulasi laba dan eksploitasi pasar. Jika logika perekonomian bebas ialah
logika ekonomi yang secara ekspansif berusaha turut mengontrol dan mengarahkan
logika politik, maka sebaliknya birokrasi berlandaskan pada logika politik yang
berusaha mengatur seluruh perikehidupan sebuah masyarakat, termasuk logika dan
gerak langkah ekonomi masyarakat tersebut agar selaras dengan tujuan politik
yang telah ditetapkan. Apakah logika dan tujuan politik itu? Hal ini tentu saja
bergantung pada siapa pemegang kekuasaan penentuan dan perumusan logika dan
tujuan politik tersebut. Ideologi dan karakter pemegang kekuasaan di sini
sangat menentukan. Sebagai sebuah alat atau instrumen kebijakan politik, maka
jelas bahwa birokrasi tidak boleh memiliki logika lain selain dari logika yang
telah diputuskan oleh kekuasaan politik, dan agar birokrasi kemudian tidak
bergeser kepada menganut logika ekonomi, maka sumber penting bagi pembiayaan
aktivitas birokrasi, yaitu pajak, tidak boleh diserahkan kepada pihak pelaku
ekonomi pasar bebas. Dengan kata lain, harus ada kemandirian pembiayaan bagi
birokrasi. Jika tidak, maka apa yang pernah diceritakan Max Weber akan
terulang. Max Weber menulis: “Para pejabat dibiayai seperti juga Caesar
dibiayai oleh Crassus dan berusaha mengembalikan biaya itu dengan
menyalahgunakan posisi resmi mereka.SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar